Kita pernah membaca berita bahwa Presiden Prabowo Subianto meniginisiasi aparatur negara seperti para menteri dan kepala daerah untuk retret. Retret (to retreat) adalah bagian dari laku tapa spiritual dalam tradisi pelaku hidup bakti kristiani. ibarat mobil ‘meng-atret’ hidupnya ke dalam keheningan batin. Melalui pembekalan rohani seperti permenungan kitab suci dan nilai-nilai spiritualitas khusus mereka berkontemplasi, memeriksa batin yang berujung pada adanya pembalikan sikap hati (pertobatan) dan membangun niat mengubah diri menjadi lebih baik. Saya tidak tahu isi retret bagi kalangan aparatur negara. Bersyukur saja bahwa ‘wadah dan cara kita’ digunakan untuk membentuk para abdi bangsa. Semoga ujung akhir berbuah pada niat baik mengabdi sesuai nilai-nilai Pancasila.
Sebaliknya Keuskupan Agung Jakarta sejak tahun 2016 selama 5 tahun berturut-turut mengarah-dasarkan penghayatan umat dengan merefleksikan kelima nilai Pancasila. Sejalan pameo Mgr Soegijapranata ‘100% Katolik, 100% Indonesia’, harapan baiknya adalah kita menjadi warganegara dan sekaligus warga Gereja yang seimbang. Lagu tematik tahunan dalam ardas itu antara lain bertajuk ‘kita bhinneka, kita indonesia’ yang secara patriotik menggambarkan tekad keragaman suku dan komunitas yang berbeda di Nusantara mendukung nilai-nilai luhur NKRI.
Minoritas vs Mayoritas
Pater Frans van Lith SJ yang menginisiasi kekatolikan di tanah Jawa pada 1906 pernah membuat catatan: “Nasib bangsa di kawasan yang disebut Nusantara ini kelak akan ditentukan oleh pribuminya. Demikian pula nasib Gereja bukan ditentukan oleh misionaris asing, tetapi tumbuhnya penduduk asli yang dibaptis katolik.” Kita turut menentukan merah-putih komunitas di lingkungan hidup masing-masing. Minoritas versus mayoritas bukan tentang jumlah, tetapi nilai lebih yang mempengaruhi kemaslahatan dalam kebersamaan.
Bersyukur pula bahwa founding fathers telah tegas menproklamasikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” (Alinea 3 mukadimah UUD 1945), dan kemudian mendasarkan keteraturan negeri ini pada ketuhanan Yang Maha Esa, dan karenanya menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya (bdk rumusan Pancasila & Ps 29 UUD 1945).
Bersyukur lagi, bahwa kita katolik yang minoritas bukan komunitas pengganggu kerukunan bertetangga. Kita diganggu di beberapa tempat. Tapi, kebiasaan beretret membuat kita berefleksi tentang mengapa, dan baiknya mesti bagaimana, bukan hanya sibuk melawan. Kita minoritas dan kecil dalam jumlah, tapi bukan minor, apalagi minimalis yang pasif. Karena kita mengimani sebagai “garam dan terang dunia”. Setiap kita sudah amat paham maksud Yesus dalam Mt 5:13-14. Kita juga pewaris Kerajaan Surga, “ragi” yang berfermentasi untuk membuat roti berkerangka (mengembang). Jumlah ragi dalam campuran adonan tepung terigu sedikit (lihat perumpamaan Yesus dalam Mt 13:13), Namun justeru ragilah yang menentukan kualitas roti.
Melangit Sekaligus Membumi
Ai Mitsuno dalam lagu bergenre rap hiphop mempertanyakan dalam judulnya “Merah Putih Untuk Siapa?”. Liriknya mewakili protes suara hati sebagian anak bangsa pada kebijakan pemerintah yang memiskinkan makna symbol negara bagi rakyat kecil yang dibungkam. Layak dan pantas lagu ini diperdengarkan sebelum para pejabat negara masuk pada sesi renungan pribadi ketika retret. Hmm..
Setiap upacara bendera, setiap anak negeri diajak menghormati pengibarannya hingga naik setinggi tiang seraya ber-Indonesia Raya. Praksis patriotisme yang men-cetar, yang tanpa toleh kiri-kanan karena mengharu-biru dalam rasa satu bangsa dan negara.
Setiap orang katolik Indonesia juga melakukan cara dan merasa yang sekurangnya seperti itu. Namun, kita sudah punya nilai rasa iman akan makna dinaik-tinggikan, khususnya dalam kisah penyaliban Yesus. Film-film tentang itu hampir selalu menggambarkan adegan penegakan salib dengan cara pengambilan angle dari bawah untuk mempertontonkan salib dengan postur Yesus yang membumbung dari bumi ke langit. Salib Yesus ditinggikan mengarah ke surga, dan merentang tanganNya terbuka gambaran cinta dan penerimaan akan sesama, sekaligus ditancapkan di bumi, di atas batu karang Golgota.
Beriman dalam konteks sekaligus berbangsa dan bernegara bukan hanya menengadah memohon ke Atas demi keamanan dan kenyamanan bisa beribadah dan sejahtera sendirian. Beriman katolik adalah menggarami dan menerangi bagi bumi Nusantara. Walau kecil, pikiran-perkataan-perbuatan setiap kita sewajarnya turut membangun kerangka hidup berbangsa dan bernegara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Penulis: Louis Djangun, komunitas pewartaan Kabar-Baik