Indonesia tak hanya memukau dengan lanskapnya, tetapi juga dengan kekayaan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakatnya. Keberagaman ini, uniknya, juga tercermin dalam denyut nadi Gereja Katolik di tanah air. Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana iman Katolik berpadu mesra dengan kearifan lokal? Mari kita intip salah satu contoh paling menarik: Kekatolikan di Tatar Parahyangan.
Bagaimana para Akang dan Neneng di tanah Pasundan menghidupi iman Katolik mereka dengan sentuhan budaya yang begitu kental?
Minggu lalu, tepatnya 18 Mei 2025, suasana Gedung Bumi Silih Asah, St. Thomas Aquinas, Bandung, dipenuhi nuansa Sunda yang begitu kental. Bukan sekadar perayaan biasa, ini adalah Ibadat Yubileum yang istimewa. Bayangkan, tak hanya lagu-lagu pujian yang mengalun merdu dalam bahasa Sunda, tetapi bahkan doa Bapa Kami dan Salam Maria pun dilantunkan dengan irama dan dialek Pasundan yang syahdu.
Ibadat inkulturasi ini adalah buah kolaborasi apik antara Komunitas Gerakan Pewartaan Kabar-Baik, Ikon Kebudayaan Nusantara, KomSos Keuskupan Bandung, Komisi Liturgi Keuskupan Bandung, dan Komunitas Baraya Sunda Katolik. Acara ini merupakan bagian tak terpisahkan dari “Ziarah Yubileum Lintas Suku dan Komunitas Nusantara,” sebuah inisiatif yang mengajak kita berziarah secara daring ke berbagai penjuru Indonesia. Sepanjang Mei hingga Oktober 2025, setiap Minggu malam, kita diajak menyelami bagaimana kekayaan budaya Nusantara diinkulturasikan dalam iman Katolik.
Keberagaman adalah Anugerah
Di Keuskupan Bandung sendiri, praktik misa dan ibadat berbahasa Sunda bukanlah hal baru. Ini sudah menjadi pemandangan yang lumrah, bahkan menjadi ciri khas. Langkah Keuskupan Bandung yang berani memadukan nilai-nilai tradisional dengan perayaan spiritual ini terbukti ampuh. Ia mampu menciptakan kedekatan emosional yang mendalam bagi jemaat, membuat iman terasa lebih membumi dan relevan.
Rama Alexander Didi Tarmedi, OSC, turut mengakui bahwa khutbah yang disampaikan dalam bahasa Sunda tak hanya menambah kehangatan, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan nyata terhadap budaya lokal. Ini bukan sekadar mempererat hubungan antarbudaya, melainkan juga sebuah pengingat bahwa keberagaman adalah anugerah yang patut dirayakan, bukan dipertentangkan.
Atmosfer budaya Sunda yang begitu menyatu dalam perayaan spiritual Katolik ini membawa pesan universal tentang pentingnya kasih, kebersamaan, dan harmoni. Dengan menggunakan kata-kata yang akrab dan dekat dengan kehidupan sehari-hari jemaat, pesan-pesan spiritual pun dapat lebih mudah menyentuh hati dan meresap dalam jiwa.
“Gereja harus menyentuh budaya lokal, dalam konteks kita adalah budaya Sunda. Iman tidak bisa lepas dari konteksnya, karena budaya adalah juga rahim iman,” tegas Rama Didi dalam obrolan santai ala podcast bertema “Seputar Budaya Sunda: Gereja Katolik Ngakar, Mekar, Motekar, Berbuah di Tatar Sunda” yang digelar usai Ibadat Yubileum.

Ia melanjutkan, “Dalam konteks Gereja Katolik bisa diterima dalam hati orang Sunda, khususnya yang dibaptis dan terpanggil, itu adalah cinta kasih. Nilai yang universal, tetapi juga sudah menjadi milik orang Sunda, karena dalam bahasa Sunda ada slogan silih asih, silih asah, silih asuh. Saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh. Jadi tidak ada pertentangan, klop. Ini yang membuat inkulturasi terjadi.”
Lebih jauh, Rama Didi juga menyoroti bagaimana nilai-nilai kekatolikan beresonansi dengan kearifan lokal Sunda, terutama dalam hubungannya dengan alam. “Orang Sunda sangat dekat dengan alam, harmonis dengan alam, maka tampak dalam pimpinan pemerintah kita, gubernur kita, untuk membuat orang Sunda semakin Sunda, salah satu jalannya adalah membenahi alam. Maka kalau gubernur kita yang tidak mengenal dokumen Laudato Si’ sudah menjalankan hal itu, masal kita orang dalam, nggak melakukannya? Mari kita bersama-sama ulah ninggalkeun kasundaan (jangan meninggalkan kesundaan),” ujarnya, menekankan keselarasan antara spiritualitas Katolik yang diwujudkan dalam ensiklik Laudato Si’ tentang kepedulian terhadap rumah bersama, dengan tradisi Sunda yang menghargai alam.
Bermula di Cigugur
Sejarah kekatolikan di Tatar Sunda, menurut Rama Didi, berakar kuat di Cigugur, sebuah kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kisahnya tak bisa dilepaskan dari sejarah Agama Djawa Sunda (ADS). Dahulu, Cigugur adalah pusat komunitas ADS. Namun, kesulitan yang dihadapi para penganut ADS dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam berurusan dengan pemerintah, mendorong sesepuh ADS untuk mengambil keputusan besar: membubarkan diri dan memeluk iman Katolik.
Adalah Sakim, seorang Sunda Pituin – Sunda asli – yang mencatat sejarah sebagai orang pertama di Cigugur yang dibaptis secara Katolik pada tahun 1964. Sejak momen itu, umat Katolik di Cigugur terus bertumbuh dan berkembang hingga kini. Mereka berhasil menjaga budaya Sunda dan identitas mereka sebagai orang Sunda, sembari tetap teguh menjalankan kekatolikan mereka.
Salah satu tokoh yang gigih menjaga warisan ini adalah Kornelius Rukmana, S.Sos, MSi, Ketua Komunitas Baraya Sunda Katolik. Kornelius, yang telah dibaptis Katolik sejak bayi, merasa terpanggil untuk meneruskan harapan orang tuanya. “Saya punya tanggung jawab dan terpanggil untuk menjaga harapan orang tua. Meski ada tantangan, justru itu menjadi peluang untuk terus meningkatkan iman. Dan sebagai seorang Sunda Pituin, saya juga wajib ambil bagian dalam ngarumat dan ngarawat budaya. Itu yang menyemangati saya sampai hari ini masih Katolik,” ungkapnya penuh semangat.
Komunitas Baraya Sunda Katolik sendiri aktif terlibat dalam perayaan Ekaristi berbahasa Sunda. Kornelius mengakui bahwa di daerah perkotaan, mengajak umat untuk aktif dalam perayaan Ekaristi berbahasa Sunda membutuhkan upaya yang cukup besar. Selain itu, komunitas ini juga berpartisipasi aktif dalam komisi liturgi di paroki-paroki.
“Komunitas Baraya Sunda Katolik dibentuk sebagai bentuk keprihatinan bahwa budaya Sunda tergerus dengan budaya lain. Padahal sebagai jati diri, budaya Sunda wajib kita jaga. Karena dalam budaya itu terletak watak orang Sunda,” tutur Kornelius. Adapun yang termasuk dalam watak orang Sunda ada lima, yakni:
- Cageur: sehat jasmani dan rohani supaya dapat bekerja dengan baik
- Bageur: mengasihi sesama dan membantu orang yang tengah mengalami kesulitan
- Bener: tidak berbohong dan dapat dipercaya
- Singer: teliti dan tidak ceroboh dalam bekerja
- Pinter: harus menguasai ilmu pengetahuan dan belajar dengan baik.
Ia menambahkan, “Komunitas juga sekaligus menjadi forum komunikasi untuk saling berbagi dan meneguhkan iman. Karena baraya memang berarti saudara atau dulur.”
Di pengujung obrolan yang penuh makna ini, baik Rama Didi maupun Kornelius sama-sama mengingatkan kita: jika kita sungguh ingin mendalami iman kekatolikan, jangan pernah tinggalkan kearifan budaya masing-masing! Sebab, dalam harmoni antara iman dan budaya, kita menemukan kekayaan spiritual yang tak ternilai, termasuk dalam menjaga keutuhan alam semesta.
Penulis: Imelda Suryaningsih, Foto: RL