Artikel

Tantangan Bersama Lintas Agama

Belakangan ini dunia menghadapi begitu banyak tantangan yang mengancam kemanusiaan. Gereja Katolik berusaha menjawabnya dengan membuka dialog lintas agama.

Oleh Donna W

Pada dua abad terakhir ini, kita telah menyaksikan begitu banyak perang dan ancaman bagi umat manusia. Kemanusiaan dan hak hidup diinjak-injak dan dirusak. Kemanusiaan juga dirusak dalam peristiwa-peristiwa perdagangan manusia dan perbudakan modern, peristiwa aborsi, serta penculikan dan perdagangan organ tubuh. Kita menyaksikan lingkungan hidup dirusak, sehingga mengancam keberlanjutan dunia. Kita juga melihat bagaimana kekuasaan menindas mereka yang seharusnya dilindungi.

Masalah-masalah kemanusiaan ini telah menjadi perhatian utama Vatikan sejak lama. Takhta Suci melihat bahwa masalah kemanusiaan ini harus ditangani bersama-sama, sebagai bentuk tanggung jawab dan kerja bersama oleh seluruh masyarakat dunia. Vatikan juga melihat bahwa kemanusiaan dan cinta kasih adalah fondasi bagi semua agama di dunia. Oleh karena itu, pada tanggal 28 Oktober 1965, Paus Paulus VI mengeluarkan “Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Non-Kristen”. Pernyataan ini diberi judul Nostra AetatePada Zaman Kita. Nostra Aetate adalah salah satu dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II.

Menjelang 60 Tahun Nostra Aetate, Gerakan Kabar Baik mengadakan serangkaian acara, selama setahun. Rangkaian acara ini dibuka dengan seminar “Tantangan bersama Lintas Agama” di Grha Pemuda Katedral Jakarta, 28 Oktober 2024. Pada seminar itu, juga dibahas tentang pesan-pesan Bapak Pendiri Bangsa, terkait peringatan Sumpah Pemuda ke-96. Seminar dimoderatori oleh RD Yustinus Sulistiadi, founder Gerakan Kabar Baik, dengan pembicara RD Riki Baruwarso, dosen teologi dari STF Driyarkara, dan Sukidi, pemikir kebhinekaan.

Asal-Usul Nostra Aetate

Romo Riki membuka seminar dengan mengulik sejarah Nostra Aetate (NA). Dokumen ini dideklarasikan dalam Konsili Vatikan II, yang digagas Paus Yohanes XXIII. NA lahir setelah Perang Dunia II (PD II), dalam konteks pasca-holocaust. Dalam PD II, ada upaya sistematis menghilangkan orang-orang Yahudi di Jerman. Paus Yohanes XXIII memberi perhatian khusus karena ini peristiwa yang memilukan bagi kemanusiaan.

               Bukan hanya kepedulian Paus Yohanes XXIII, NA juga merupakan buah perjalanan Paus Paulus VI (waktu itu masih Kardinal Giovanni Montini) ke Yerusalem. Di sana, beliau mengalami perjumpaan dengan umat Muslim, sehingga menyadari pentingnya dialog antaragama.

Elemen-elemen Penting Nostra Aetate

NA adalah dokumen terpendek yang dihasilkan Konsili Vatikan II, dan hanya terdiri atas lima artikel. Kelima artikel tersebut dapat diintisarikan sebagai berikut:

  1. Dalam dokumen ini, Gereja menyatakan sikap mau membuka diri terhadap realita agama-agama lain dan ajaran-ajarannya.
  2. Ada pengakuan bahwa kesatuan persaudaraan antar pemeluk agama adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam Gereja Katolik Roma.
  3. Agama katolik menyadari bahwa dalam agama-agama lain ada tradisi-tradisi spiritual yang sangat kaya, yang mirip dengan tradisi yang ada dalam Gereja Katolik.
  4. Dorongan untuk dialog antar-agama demi hidup sosial politik yang lebih baik. Dialog yang diupayakan itu bukan untuk mengubah apa yang diyakini orang, tapi untuk menciptakan masyarakat yang berkemanusiaan dan berperi keadilan.
  5. Gereja mengecam setiap diskriminasi antarmanusia atau penganiayaan, berdasarkan keturunan atau warna kulit kondisi hidup atau agama. Menentang diskriminasi dan intoleransi adalah sikap tegas Gereja Katolik dalam dokumen NA.

Dialog dan Pewartaan

Tidak bisa dipungkiri, NA menuai reaksi yang cukup keras dari berbagai pihak. Dari dalam Gereja sendiri kemudian muncul pertanyaan mengenai doktrin Extra Ecclesiam Nulla Salus, atau Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan.

               Namun, harus diperhatikan beberapa hal. Pertama adalah lahirnya doktrin Extra Ecclesiam Nulla Salus itu sendiri pada abad ke-3 M, yang merupakan jawaban akan pertentangan ketika di dalam Gereja sendiri terjadi perpecahan. Sehingga doktrin ini ditujukan ke dalam Gereja, bukan merupakan tanggapan bagi hubungan dengan pihak di luar Gereja.

                Deklarasi NA sendiri berdiri pada fondasi dialog, bukan pewartaan. Dialog bukanlah alat misi atau pewartaan, melainkan perjumpaan yang mendorong masing-masing pihak untuk bersama-sama mengarah pada kebenaran. Dialog bukan untuk meyakinkan orang lain untuk memilih keyakinan yang kita miliki. Kalau dialog dilihat sebagai alat misi, yang terjadi adalah kecurigaan pada dialog.

NA adalah kesaksian yang hidup dari gereja, yang berupaya secara nyata dan jujur berdialog dengan agama dan keyakinan lain.

Nostra Aetate merupakan bentuk pertobatan spiritual, awal untuk menjadi Gereja yang mau belajar mendengarkan, mencari, menerima, dan melayani.

Semangat NA perlu dijaga agar dialog yang diupayakan dari waktu ke waktu selalu melihat dan membawa kenyataan pada zaman sekarang. Dialog Gereja dan agama-agama lain belum selesai. Semangat yang ingin diupayakan di balik dokumen NA harus terus dibawa, agar dialog selalu ada dalam konteks yang nyata dan konkret.

Menghadapi Krisis Kemanusiaan

Pada sesi berikutnya Sukidi mengingatkan bahwa kita menghadapi apa yang Paus Fransiskus sebut krisis kemanusiaan. Kita kehilangan empati pada sesama, yaitu fakir miskin, gelandangan, mereka yang tidak beruntung, terlantar, dan tidak dipelihara negara. Empati adalah nilai fundamental pada agama yang sedang mengalami krisis.

Krisis kemanusiaan tampak jelas ketika kita dihadapkan pada pilihan moral, apakah kita akan membersamai kaum miskin papa atau penguasa dan orang kaya.

Dalam konteks ini, keteladanan Paus Fransiskus dapat dilihat melalui berbagai pidato maupun dokumen yang ditandatangani Paus, antara lain dokumen “Human Fraternity for World Peace and Living Together” atau yang dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi (3-5 Februari 2019) dan Deklarasi Bersama Istiqlal (5 September 2024). Pesan Paus Fransiskus adalah pentingnya kita melihat ke depan. Kita telah menutup babak sejarah hubungan Kristen dan Islam yang kelam. Sudah saatnya bergerak ke depan dengan menggunakan bahasa dialog, yaitu bahasa perjumpaan dan bahasa keterlibatan aktif.

Bahasa dialog penting agar kita membuka diri pada yang berbeda dari kita.

Namun, bahasa dialog saja tidak cukup, jadi harus disertai komitmen pada perjumpaan dengan mereka yang berbeda agama dan warna kulit.

Bahasa keterlibatan aktif dibutuhkan dalam hal persaudaraan kemanusiaan. Persaudaraan kemanusiaan ini adalah puncak tertinggi kehidupan kita. Sayangnya, kemanusiaan saat ini compang-camping, ditandai jurang antara kaya dan miskin.

Bagi Paus Fransiskus, Yesus adalah model keberpihakan pada kaum fakir miskin papa. Yesus adalah perwujudan sempurna belas kasih. Gereja yang diimajinasikan Paus Fransiskus bukanlah Gereja yang terisolasi dari masalah sosial kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil. Gereja yang dibayangkan Paus Fransiskus adalah Gereja yang didedikasikan untuk orang miskin.

Pada Dokumen Abu Dhabi dan Deklarasi Istiqlal, kita menangkap pesan kuat akan kemanusiaan itu sendiri. Pada Deklarasi Istiqlal digunakan kata dehumanisasi, artinya penghormatan akan harkat dan martabat manusia mengalami kemerosotan dan kejatuhan.

Pengalaman Bangsa Indonesia Masa Kini

Secara umum kita sebagai bangsa menghadapi situasi di mana kita mengalami kejatuhan moral karena kita permisif terhadap berbagai penyimpangan moral di sekitar kita. Kita harus mengubah arah dengan belajar dari Paus Fransiskus, juga dari keteladanan para Ibu/Bapak Pendiri Bangsa.

Sayangnya, pada masa kini, keteladanan ini absen dari penyelengaraan hidup berbangsa dan bernegara. Pemimpin bicara tentang memberantas korupsi, tapi dia terjerat korupsi. Pemimpin bicara mengatasi kemiskinan tapi dia hidup berfoya-foya. Apa yang dibutuhkan bangsa kita adalah walk the talk.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara kita perlu perwujudan bela rasa, bela kasih. Komitmen pada mereka yang tidak beruntung perlu disertai tindakan bela rasa. Bela kasih adalah wujud merasakan penderitaan mereka sebagai penderitaan kita.

Itu bukan hanya pesan tradisi Katolik, tapi juga pesan Bapak Pendiri Indonesia. Pada pidato tanggal 1 juni 1945, Bung Karno memberi pertanyaan penting, “Apakah kita mau mendirikan Indonesia Merdeka, di mana kaum kapitalis merajalela, atau Indonesia Merdeka di mana rakyat Sejahtera?”

Hari-hari ini yang disebut Bung Karno terjadi. Ketimpangan yang terjadi ini disebut Paus Fransiskus sebagai masalah serius. Masalah yang bisa membunuh kemanusiaan itu sendiri. Ketimpangan ini membuat manusia menjadi tidak setara.

Dokumen Abu Dhabi dibuka dengan penegasan bahwa kita diciptakan Tuhan dalam kesetaraan, terutama dari segi martabat kemanusiaan. Bagaimana bisa ada martabat kemanusiaan kalau ada ketimpangan ekonomi, akses pendidikan, tanah, begitu lebar?

Kita harus bekerja sama, dengan semangat gotong royong dan senasib sepenanggungan.

Pada tahun 1948, Bung Karno pidato mengenang 40 tahun Kebangkitan Indonesia, dengan pernyataan, “A house divided cannot stand.” Ibarat rumah, Indonesia yang tercerai berai, tidak akan berdiri kokoh. Indonesia yang timpang tidak bisa merefleksikan semangat senasib sepenanggungan.

Inilah yang harus kita coba atasi bersama. Menutup jurang kesenjangan dan ketimpangan yang begitu luas. Dengan kerja bersama, kita harus mengupayakan cita-cita Paus Fransiskus yaitu prosperity of all, kesejahteraan bersama.

You may also like...

This error message is only visible to WordPress admins

Error: No feed found.

Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.