oleh Louis Djangun
Apa ya sebaiknya motto tahbisan saya? Tanya seorang diakon yang 2 bulan lagi akan ditahbiskan menjadi imam kepada seniornya.
“Jangan takut mengambil Maria menjadi istrimu,” usul seniornya.
“Ah… kaka bercanda. Saya serius minta pendapat.”
“Saya juga serius memberi usulan kutipan itu.”
“Tapi, saya mau tahbisan sebagai imam. Bukan mau menikah.”
“Siapa bilang saya suruh kau menikahi Maria? Kau baca baik-baik Matius 1:20-21,” jawabnya sengit.
Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang ada di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki, dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka
Oh..itu toh kutipannya tentang mimpi Yusuf ditemui malaikat ketika ia sedang mempertimbangkan untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Teks itu tentang (1) perintah Tuhan melalui malaikat (2) untuk jangan takut, (3) untuk tetap mendampingi Maria yang mengandung dan akan melahirkan anak laki-laki, (4) dan tentang Yusuf yang akan menamakan bayi itu Yesus.
Dua pembelajaran dari pakde Yusuf. Satu, dia yang peragu dan pemimpi itu nyatanya memiliki peran sentral dalam keluarga kudus: memberi nama, artinya memberi kekuatan, memiliki. Kedua, Yusuf sungguh adalah pribadi yang super taat, setia melaksanakan perintah Tuhan. Maka, juga usulan dalam dialog dua confrater di atas, bukan tentang anjuran menikahi nona bernama Maria, tetapi tentang nilai spiritualitas ketaatan.
Diusir Umat
Ini kisah lain. Pastor kepala sebuah paroki melayani dengan serius, rajin, setia. Dia merasa dirinya ‘gembala yang baik’. Tapi itu perasaan versi dirinya. Lain cerita di pikiran umat dan mulut mereka. Galak, mau-maunya sendiri, angel dengerin usul umat, susah ditemui. “Lebih mudah menemui Roh Kudus ketimbang ketemu pastor di paroki,” komentar sengit beberapa umat tentang pastor yang demen dolan.
Ada lagi yang timpali, “Bersyukurlah bahwa pemimpin-pemimpin Gereja Katolik itu dididik secara intelektual, pengetahuan iman, moral dan filosofi hidup kemanusiaan yang universal. Mereka susah payah juga belajar. Ada yang lulus dengan cum laude. Tapi, tak sedikit yang sungguh berjuang, lulus dengan kemelut. Para Pastor kita bukan malaikat.” Wow, bijak kali kawan kita!
Kembali ke kisah pastor kepala. Dalam masa natal, pastor itu dipindahtugaskan. Misa perpisahannya meriah dihadiri berlimpah umat. Banyak yang sedih karena dia dipindahkan, tak sedikit juga yang mensyukurinya. Lagu penutup oleh koor dipilih dari Puji Syukur nomor 455. Riuh gempita umat bernyanyi dan cenderung berteriak, “Gembala pergilah cepat-cepat…..” Sang pastor terhenyak, diam sebentar sebelum membuntuti prosesi kembali ke sakristi. Dia sempat melirik wajah beberapa umat yang pernah berbeda pendapat dengannya. Wajah mereka sinis. Suara mereka lantang, ’pergilah cepat-cepat’. Langkah pastor lunglai, hatinya bergumam: gile, gua diusir umat nih. Tapi, itu cuma lirik lagu Mo, plus dinyanyikan lebih ekspresif. He he…
Pastor adalah Gembala
Dua kisah di atas bahkan ada dalam kotbah beberapa pastor yang demen cerita. Saya hanya tambahin bumbunya. Mereka ‘menertawakan’ kisah-kisah antarmereka. Mereka punya banyak ilustrasi terkait fungsi dan tanggung jawab mereka yang tak mudah. Tak mudah juga mereka menerima umat yang beragam latar-pikir dan banyak maunya. Mereka ibarat gembala-gembala yang diajak malaikat menemui Yesus di palungan agar bersaksi tentang Juru Selamat. Merekalah ‘gembala’ yang menuntun umat Allah mengikuti “Sang Gembala Baik” dari Bethlehem ke Golgotha, untuk berjalan bersama dalam Jalan Kebenaran dan Hidup.