Ibu ya pasti perempuan. Apa hubungannya dengan Gereja? Gereja Katolik cenderung patriarkal. Perempuan, ngapain dong?
Oleh: Louis Djangun
Peringatan Hari Ibu, 22 Desember, sudah banyak dipahami dan dibahas di berbagai media. Apa relevansinya dengan judul di atas? Saya utak-atik dari konteks dan praksis kekatolikan.
Hari Ibu mengantarai dua hari raya dalam kalender liturgi katolik. 8 Desember HR Maria Dikandung Tanpa Dosa, dan 25 Desember Maria melahirkan Yesus, Putera Allah dalam wujud bayi manusia. Dua peristiwa itu membuktikan Maria so pasti Bunda, perempuan.
Hanya ibu yang perempuan (asal kata ‘empu’) yang punya rahim. Kata ini terkonotasi dengan fungsi reproduksi sebagai mahluk ‘betina’ dan sekaligus penyayang. Selain kerahiman (penyayang, pengampun) milik Allah, juga ada dalam nurani keibuan. Empu + Rahim menampakkan keunggulan mahluk perempuan sebagai yang memiliki kuasa atau kemampuan (empu) yang menaklukan atau memaafkan (rahim). Pater Zoetmulder SJ dalam Old Javanese-English Dictionary menelusuri “vanita” (sansekerta = wanita) sebagai “wanted a”, sesuatu yang diinginkan. Wanita bukan mahluk lemah. Justeru, karena memiliki ke-empu-an + ke-rahim-an itu, wanita diinginkan (oleh laki-laki) agar bisa dikuasai, ditaklukan. Penaklukan itu via titik lemah wanita, yaitu naluri sayang dan pemaaf.
Spiritualitas Bunda Maria
Ego servus Dei suum, fiat mihi secundum verba Tua (Luk 1:38). Itulah spiritualitas Maria yang mendasari spirit keperempuanan : merendahkan diri (sebagai hamba) dan pasrah pada kehendak dan kepentingan yang lebih besar. Bagaimana bila pada saat dilamar oleh malaikat Gabriel, Maria remaja itu menolak? Apakah Allah akan mencari dan menemukan perempuan lain demi terlaksana kehendakNya? Saya tidak mengimani pertanyaan itu. Sejak sebelum lahirnya, Maria sudah disiapkan demi Karya Agung itu. Hidupnya dikuduskan. Rahimnya tak bernoda sebagai palungan keselamatan.
Spiritualitas keperempuanan adalah penghambaan diri, ketaatan pada kebenaran demi keselamatan akan kemuliaan kehidupan. Kita dapat merasakannya dari pengalaman beribu pada mama masing-masing. Sudah sejak setiap kita dalam kandungan, naluri melindungi dan menyayangi kehidupan dalam rahimnya otomatis tercurah begitu saja.
Gereja Perempuan
Pelayan Gereja, khususnya terkait Ekaristi adalah pater, romo yang berarti bapak. Yesus memilih 12 rasul laki-laki. Perempuan? Mereka di barisan belakang, supporting karya dan pelayanan Yesus (lih Luk 8:1-3). Peran mereka penting, melayani dengan segala kekayaan mereka, dengan segala daya.
Kapan ada pastor perempuan? Kenapa gak mungkin? Konsili Vatikan II berprinsip liturgia semper reformanda, liturgi selalu berubah sesuai kebutuhan jaman. Kita pernah alergi ketika para remaja puteri muncul di altar melayani ekaristi. Beberapa tahun terakhir kerisian bertambah dengan dilantiknya prodiakones membagi komuni, bahkan bisa membuka tabernakel, sentra tersuci di altar.
Kita beriman pada Gereja yang ‘satu’, yang tak hanya kesatuan dalam Kristus, tetapi juga dalam praksis pelayanan dan partisipasi. Tanggal 29 Januari, 1973, Instruksi Immensae Caritatis dikeluarkan oleh Paus Paulus V yang menganjurkan para Uskup memberi ijin kepada awam pria maupun wanita untuk membagikan komuni suci sebagai extraordinary minister of holy communion yang kita kenal sebagai prodiakon atau pelayan luar biasa pembagi komuni.
Peran perempuan dalam pelayanan Gereja kian nyata. Pater Tom Jacobs SJ, dosen Fakultas Teologi Kepausan di Yogyakarta (wafat 5 April 2008) pernah ‘meramalkan’ bahwa suatu ketika warna pelayanan Gereja Katolik yang patriarkal akan bergeser lebih feminin. Lihat saja aktivis pelayan di Paroki dan Lingkungan-lingkungan yang kini lebih didominasi kaum perempuan. It’s time for the power of emak-emak.. hehe.. (*)