Melihat banyaknya tantangan anak-anak di masa kini, Gereja perlu bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menciptakan ruang aman bagi anak-anak.
Oleh Donna W
Anak-anak adalah masa depan. Gereja Katolik sangat menyadari hal itu. Tak kurang Paus Fransiskus sendiri yang menekankan pentingnya anak-anak dengan menetapkan tanggal 25 Mei 2024 sebagai Hari Anak Sedunia yang pertama. Mengikuti teladan Paus Fransiskus tersebut, Keuskupan Agung Jakarta mengadakan Hari Anak KAJ pada 5 Oktober 2024, di Ciputra Artpreneur Kuningan, Jakarta.
Namun, ternyata tumbuh kembang anak-anak harus menghadapi begitu banyak tantangan. Romo Adi Prasojo, Pr. dari KAJ menyebutkan anak-anak pada usia 0-13 tahun masih bergulat dengan masalah gizi dan kesehatan, akses pendidikan, dan perkembangan media sosial. “Gadget merenggut banyak segi kehidupan anak, bila orang tua tidak waspada,” ujar Romo Adi.
Sejalan dengan pendapat Romo Adi, Ibu Prita Ismayani, Sekretaris Deputi bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyatakan, “Media itu hampir tidak tersaring lagi sekarang. Jadi anak-anak perlu dikuatkan lagi karakternya agar dia dari kecil sudah bisa membedakan mana yang pantas untuk dirinya.”
Perlu Pendekatan yang Lebih Sinergis
Selama ini, pendekatan yang dilakukan Gereja masih konvensional. Pendidikan iman dilakukan lewat Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, dan Sekolah Minggu. Belum ada kegiatan yang benar-benar berfokus pada anak sebagai anak, padahal anak punya banyak potensi. Bagi Romo Adi, Gereja harus memperluas dan memperdalam perannya bagi anak-anak. “Kalau mau ikut andil dalam membentuk Generasi Indonesia Emas, Gereja harus bekerja sama dengan Pemerintah dengan pendekatan yang tidak lagi tradisional,” tutur Romo Adi.
Upaya untuk memperhatikan tumbuh kembang anak harus disusun sebagai suatu orkestrasi bersama. Kolaborasi dan sinergi harus dibangun, karena anak-anak perlu diperhatikan oleh sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sinergi bersama Pemerintah wajib dilakukan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ternyata memiliki program “Rumah Ibadah Ramah Anak”. “Rumah ibadah itu seharusnya menjadi tempat yang aman. Jadi, jika anak mengalami kesulitan, rumah ibadah harus menjadi salah satu yang menampung mereka. Gereja selain untuk anak-anak, juga untuk keluarga, menjadi ruang belajar dan ruang bertumbuh,” kata Ibu Prita. Untuk program kegiatan ini, Kementerian PPPA bekerja sama dengan KWI, demi bisa menjangkau ke seluruh Indonesia.
Kepedulian bagi Anak
Tidak bisa dipungkiri bahwa tantangan yang ekstrem bagi tumbuh kembang anak adalah perilaku kekerasan. Baik di lingkungan terdekat seperti dalam keluarga, maupun juga di lingkungan yang lebih luas seperti di sekolah, atau bahkan di Gereja.
“Kadang orang dewasa tidak menyadari dia melakukan kekerasan ke anak,” tutur Ibu Prita. Hal ini terjadi karena orang dewasa merasa itu merupakan hal yang biasa, karena itulah pola asuh yang diterima pada zaman dulu. “Ketika anak menyampaikan pendapat itu tidak diperhitungkan. Itu sebenarnya tidak kita sadari. Namun, yang lebih ekstrem adalah kekerasan yang benar-benar riil, violence, baik dalam rumah tangga atau lingkungan mereka,” lanjut Ibu Prita.
Di Gereja sendiri, Romo Adi mengingatkan bahwa harus ada code of conduct bagi kaum klerus untuk memperlakukan anak. “Di Amerika dan Australia, para pastor telah punya code of conduct bila berdekatan dengan anak. Di sini masih sulit, karena budaya kita kan hangat. Bukan berarti pastor tidak boleh berdekatan dengan anak, tapi lebih baik kita berjaga-jaga, misalnya bila menyentuh anak harus ada orang tuanya, jangan di tempat tertutup.”
Romo Adi, yang juga Ketua PPADR (Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan) menyampaikan, “Gereja semestinya menjadi ruang aman dan tetap harus dimonitor. Keberadaan PPADR adalah jalan baru untuk memastikan keluarga-keluarga Katolik berdasarkan ajaran kasih, mengusahakan kebaikan bagi anak-anak, meskipun secara de facto masih kita temui kekerasan-kekerasan domestik, dalam keluarga, di sekolah seperti bullying. Kita perlu kerja yang kontinyu untuk menangani hal itu. Jujur ini masih PR bagi kita.”
Romo Adi berharap agar gereja melakukan konsolidasi internal dengan semua elemen dan semua pelayanan yang selama ini sudah ada. “Selain bekerja sama dengan Pemerintah, Gereja perlu berkoordinasi dan belajar pada NGO yang memiliki kepedulian yang sama seperti UNICEF atau Save the Children,” tutupnya.