Pernah dalam sebuah rekoleksi umat paroki saya bertanya: kita orang katolik adalah kumpulan orang suci. Benarkah ? Sebagian besar peserta spontan membenarkan. Kesannya sombong sekali.
Oleh: Louis Djangun
Katekese yang kurang tepat dalam Sakramen Permandian bisa menjebak pada kesombongan iman, atau tepatnya kelengahan menyikapi hidup beriman itu sendiri. Seakan dengan air baptis dan curahan Roh Kudus sudah mendapatkan tiket jalan tol menuju surga.
Tambahan lagi syahadat iman kita merumuskan “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus..” Hebat ya ! Iman kita digerakkan oleh Roh Allah yang kudus dalam Gereja yang kudus, dan dalam persatuan para kudus. Karenanya kekudusan menyatu dalam diri setiap orang katolik. Baptis telah mencuci (membersihkan) dan menyucikan (memurnikan) pikiran, perkataan, perbuatan (dan termasuk kelalaian) setiap kita.
Keliru? Rumusan syahadat pasti harus menjadi kebenaran. Optimisme beriman boleh saja sampai pada keyakinan demikian. Hanya saja bahwa pola pikir seperti itu membuat kita terjebak pada ‘hanya iman’ yang menyelamatkan. Itu pandangan aliran yang lain. Padahal iman itu masih tinggal di dalam dunia, yang nota bene berdosa. Iman butuh pembuktian demi pemurniannya selama masih hidup dalam dunia, yaitu perbuatan terhadap Allah-sesama-dan kehidupan itu sendiri.
Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati
(Yak 2:26)
EENS, Pernah Dengar?
Extra Ecclesiam Nulam Salus. Di luar Gereja tidak ada keselamatan. Kesannya? Sombong kali! Tapi benar, bahwa semangat katekese seperti itu pernah menjadi promosi Gereja oleh Uskup Siprianus dari Kartago pada abad 3. Pada masa itu sebagai komunitas Gereja sedang mencari pengikut, dan sekaligus sebuah cara pewartaan akan Kebenaran Allah dalam Kristus. Dasarnya Sabda Yesus sendiri: “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa jika tidak melalui Aku” (Yoh 14:6) dan Kristus adalah Kepala Tubuh, yaitu Gereja (Kol 1:18).
Tulisan ringan ini tidak akan masuk pada sejarah panjang Gereja. Sebut saja bahwa Gereja pernah mengalami masa kelam bahkan sejak abad pertama, itu fakta sejarah. Gereja yang semula dikejar-kejar penguasa Romawi kemudian nebeng pada imperium akbar itu demi meluaskan pengaruhnya. Gereja menjadi agama negara. Paus, para Uskup dan jabatan-jabatan dalam Gereja menjadi rebutan dan sekaligus dimanfaatkan secara politis. Gereja berperang. Gereja ikut dalam hegemoni kolonialisme. Gereja terjerumus dalam kegelapan, bahkan dosa. Gereja terpecah-belah, diprotes sana-sini.
![](https://kabar-baik.id/wp-content/uploads/2024/11/9.png)
Gereja adalah kumpulan orang berdosa. Bukanlah sesuatu yang tabu. Tetapi, frasa itu jangan berhenti pada ‘titik’.
Gereja adalah kumpulan orang berdosa, (koma) yang mau bertobat demi mampu seiring-sejalan dengan Sang Aku, ‘Jalan Kebenaran dan Hidup’; demi tegaknya Sang Kepala yang adalah Kristus dan Tuhan.
Bagaimana Gereja Bertobat?
Secara institusional, pemurnian iman katolik terjadi dari dalam dalam gerakan-gerakan kecil semisal oleh apa yang kita sebut para Bapa Gereja sekitar tahun 100 seperti Ignatius Antiokhia, Paus Klemens I, Ireneus, Yustinus Martir dll. Di dalam kegelapan, Terang Kristus tidaklah padam. Secara global, Paus menghimpun para Uskup untuk mengadakan konsili ekumenis sejak abad 3 hingga abad 8. Perlahan tapi pasti Gereja ke luar dari masa kegelapan, membenahi keretakan yang terjadi, memurnikan ajaran-ajaran iman dan moral kristiani.
Kita beriman dalam konteks Konsili Vatikan II (1962-1965) yang merefleksikan sejarah umat manusia yang ditandai kekalahan dan kemenangan, namun tetap dipelihara karena cintakasih Allah Pencipta. Umat Katolik memang berada dalam perbudakan dosa, tetapi dimerdekakan oleh Kristus Tuhan yang tersalib dan bangkit, yang mematahkan kuasa jahat agar diubah menurut kehendak Allah, yaitu kesempurnaan. (Gaudium et Spes, Gereja di dalam Dunia art 2)
Beriman adalah ketercampuran hidup dalam kedosaan dunia, ibarat gandum yang tumbuh diantara ilalang (Mat. 13: 24-30). Pemurnian iman menuju kesempurnaan diberikan sarana khas dalam Sakramen-sakramen Gereja sebagai Tanda Belaskasih dan Rahmat Allah yang mengubah kedosaan diri menjadi pertobatan menuju keselamatan. Dan pertobatan Gereja dimulai dari saya.. dari setiap kita !
(Louis Djangun, pernah studi di STF Driyarkara Jakarta & Fakultas Teologi Kepausan Yogyakarta; kini Tim PusPas KAJ & Tim Kabar-Baik.id)