Penulis: Dharmawati (Kabar-Baik.id)
Kesederhanaan bukan hal baru bagi Paus Fransiskus. Semasa masih kardinal pun ia lebih memilih tinggal di apartemen kecil, naik kendaraan umum, dan memasak makanannya sendiri. Konon, pada Konsistori (sidang para kardinal yang dipimpin Paus) tahun 2001, ia mengenakan jubah yang agak terlalu besar untuknya. Usut punya usut, ia memilih mengenakan jubah lungsuran dari pendahulunya alih-alih memesan jubah baru yang lebih “wah” seperti yang umumnya dilakukan para uskup/kardinal lain dalam acara serupa.
Paus Fransiskus menolak tinggal di Istana Apostolik seperti para paus pendahulunya dan lebih memilih tinggal di apartemen kecil di Wisma Domus Santa Martha, wisma yang bersebelahan dengan Basilika Santo Petrus di Vatikan. Ia juga menolak memakai kalung salib pektoral emas dan lebih memilih memakai kalung salib dada sederhana yang dipakainya sejak menjabat uskup dulu. Ia memilih model jubah, mantel, selempang yang jauh lebih sederhana dibandingkan para pendahulunya. Bahkan sepatunya pun sepatu hitam biasa yang lazim dipakai para imam.
Ini jelas memengaruhi tren di kalangan kaum berjubah. Para kardinal dan uskup yang baru diangkat lebih berhati-hati dalam membeli jubah baru mereka. Mereka enggan memakai jubah yang terlalu bling bling, lebih memilih kualitas kain daripada motif yang mencolok. Raniero Mancinelli, penjahit Italia yang sudah melayani pembuatan jubah tiga paus dan entah berapa banyak kardinal, uskup, dan imam sejak tahun 1960-an, menyebut ini sebagai “Efek Fransiskus”.
Hebatnya, gaya sederhana Paus Fransiskus malah membuatnya dinobatkan sebagai “Pria Berbusana Terbaik Tahun 2013” oleh majalah pria Esquire dari Amerika. Alasannya? Karena gaya berpakaian Paus Fransiskus mengekspresikan karakter maupun pola pikirnya.
Ya, Paus Fransiskus sungguh mengamalkan nama kepausan yang diambilnya dari nama Santo Fransiskus Asisi, sang teladan kesederhanaan dan kerendahan hati.
(Diolah dari berbagai sumber)