Mati ya mati. Hidupnya selesai. Kita yang masih hidup ya… lanjut saja, hingga suatu saat mati juga.
Oleh: Louis Djangun
Cerita dalam Mat 8:21-22 bila dibaca begitu saja, seakan membenarkan kalimat di atas. Orang yang sudah mati bukan urusan kita yang hidup. Lalu, urusan siapa ? Ada yang bilang, itu urusan Tuhan. Dia sudah kembali bersatu dengan Allah penciptanya. Kalau sudah kembali ke asal di ‘sana’, ya seperti apa ‘dirinya, hidupnya, suasana’, ngapain kita berkhayal? Seperti apa di sana, mene ketehe. Mereka yang ‘sudah kembali’ juga nggak pernah ngabarin, gak kirim surat atau wa seperti lazimnya keluarga atau teman yang pergi berjauhan.
Ada komunitas manusia yang punya keyakinan demikian. Karena kita kenal yang mati, ya urus pemakamannya, ketimbang bau busuk. Setelah itu lupakan dia. Pertanyaan kita: mengapa kita Katolik punya ajaran mesti mengenang dan mendoakan orang mati? Selain peringatan massal di tanggal 2 November, ada juga ibadat-ibadat kita mengenang 3 hari, 7, 40, 100, 1000 hari terhadap orang yang meninggal. Ada pelayan Gereja yang komentar: orang mati itu bikin repot karena proses persemayaman hingga pemakaman dan mengenangnya sungguh menyita waktu dan uang. Bukan hanya itu, pelayanan ibadahnya juga: misa requiem, misa tutup peti, upacara pemakaman, dan peringatan-peringatan setelahnya.
Apa makna kematian bagi orang Katolik?
Mengurus dan mengenang yang meninggal, pertama-tama mesti dinikmati sebagai ungkapan cinta dan duka bahwa dia yang sehari-hari bersama kita, mulai saat itu tak bisa berinteraksi lagi. Fisiknya lenyap selamanya. Namun, dalam peristiwa Yesus Kristus yang kita imani, ternyata fisikNya diubah secara baru melalui Kebangkitan. Buktinya jelas! Bila kita telusuri dalam Perjanjian Baru, sebanyak 17 kali Yesus menampakkan diri. Bahkan dikatakan dalam 1 Kor 15:6 dan Mat 28:16-17 Yesus menampakkan Diri lebih dari 500 orang. Wow… bukan cerita kaleng-kaleng. Kisah kelahiran Yesus hingga kematian dan kebangkitanNya adalah cerita sejarah, nyata! Maka, bagi kita umat Katolik, Yesus adalah model, ‘buah sulung’ yang menuntun jalan hidup.
Namun sekarang, Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai buah sulung dari semua orang percaya yang telah mati. Sebab, sama seperti kematian terjadi melalui satu orang, maka melalui satu orang jugalah kebangkitan dari antara orang mati terjadi.
(Mat 15:20-21)
Kisah Yesus membangkitkan Lazarus dan pesanNya adalah bahwa Dia memiliki kuasa membangkitkan orang mati, dan di dalam Dia ada kebangkitan dan kehidupan kekal (Yoh 11:25).
Karenanya, iman Katolik kita dalam kepercayaan akan Kristus sungguh membaharui optimisme relativitas dan dikotomi hidup versus mati. Salvador Dali ini melukiskan secara bagus bahwa kematian Yesus menjadi ‘penghubung’ bumi dan surga. Di dalam Dia kematian dan kehidupan kekal menyatu. Kematian tidaklah memisahkan dia dan saya, mereka dan kita.
Api Penyucian atau Penyucian?
Adakah orang mati yang jiwanya langsung terbang masuk ke dalam surga ? Mungkinkah dari ketercemaran hidup dunia yang berdosa, bisa langsung bersatu dengan Allah? Yesus memberikan persyaratan untuk itu dalam Mat 5:48 “Kamu harus menjadi sempurna, seperti Bapa-mu di surga sempurna adanya”. Artinya, bila mau bersatu dengan Allah yang mahakudus nan sempurna itu, tak bisa lain harus juga kita sempurna dalam kekudusan.
Ibarat memasuki tahapan cara hidup baru ada ‘masa orientasi’, proses penyesuaian, pemurnian agar layak kudus dan sempurna masuk dalam persatuan dengan Sang Maha Kudus. Itulah konsep mula-mula tentang Purgatorium. Api Pencucian = untuk mencuci dosa, atau Api Penyucian = untuk menyucikan. Api yang dimaksud bukanlah pengertian duniawi kita sehari-hari. Api adalah symbol hukuman akibat dosa-dosa di dunia. Namun, api juga seperti dalam 1 Petrus 1:7 “..untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.”
Bila pengertian orang mati ada dalam ketakberdayaan, maka kita yang sedang berdayalah yang memberikan daya melalui doa-doa (memohon, menjalin relasi dengan Allah) agar mereka yang di purgatori dipulihkan, dikuduskan kembali agar layak bersatu dengan Sang Maha Kudus.
(Louis Djangun, pernah studi di STF Driyarkara Jakarta & Fakultas Teologi Kepausan Yogyakarta; kini Tim PuPas KAJ & Tim Kabar-Baik.id)