Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru. Setiap kita pasti pernah sekolah, belajar sesuatu, berguru. Banyak yang sepakat, guru pertama kehidupan adalah orangtua, khususnya ibu.
Oleh: Louis Djangun
Sebelum digelari ‘guru’, seseorang tentunya berproses belajar. Perlu keberanian untuk ‘berguru’. Dahulu ada pendidikan khusus menjadi guru yaitu Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Awal 1990an SPG dihapus Pemerintah, dan berlanjut pengalihan IKIP menjadi universitas di tahun 1999. Kemudian keluarlah Undang-undang tentang guru dan dosen di tahun 2005 yang menata persyaratan menjadi pendidik formal. Mereka yang berprofesi guru saat ini ada yang sungguh bercita-cita menjadi guru, ada pula yang ‘terpaksa’ dengan berbagai alasan. Latar belakang pendidikan tidak lagi spesifik tentang edukasi dan pedagogik, tetapi berbasis ‘fak’, kata seorang teman guru.
Yesus Berguru
Kita ingat kisah Yesus ‘hilang’ dan ditemukan dalam Bait Allah saat berusia 12 tahun (Luk 2:41-52). Maria dan Yusuf menemukan putera mereka yang masih ikutan ‘BIR’ di tempat tinggalnya itu sedang berguru kepada alim ulama, orang-orang pintar berilmu di bidang keagamaan Yahudi. Tak hanya berguru, Yesus kecil ternyata juga menggurui : “Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasanNya dan segala jawab yang diberikanNya” (ay 47).
Kata ‘guru’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tuan. Dalam Yoh 13:13 Yesus menyematkan makna itu terhadap DiriNya : “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhanmu”. Tuhan dalam konteks ini dimaknai sebagai gelar kehormatan bagi orang yang bermartabat tinggi, Ho Kurios (septuaginta, Yunani).
Nikodemus BerGURU
Konteks guru-berguru menarik dalam Percakapan Yesus dengan Nikodemus (Yoh 3:1-21). Orang Farisi dan pemimpin agama Yahudi ini menempatkan Yesus bukan hanya bermartabat tinggi, tetapi Guru yang diutus Allah. Nikodemus adalah orang penting dan pandai, memiliki pengetahuan agama, diam-diam membenarkan ajaran Yesus, namun tidak berani terbuka. Nikodemus mewakili ‘kelompok Yahudi’ yang belum siap menerima ajaran Yesus karena terikat pada tradisi dan Taurat. Maka, ia datang sembunyi-sembunyi pada waktu malam. “Malam” adalah suasana gelap untuk bersembunyi, symbol ketidakberanian akan kebenaran. Tetapi, juga bermakna sebagai waktu yang baik untuk ‘belajar’.
Nikodemus adalah pribadi pembelajar, rabbi yang tidak berhenti berproses untuk sampai pada pemahaman yang benar. Pada Yoh 7:45-52, Nikodemus muncul sebagai pembela Yesus dalam beda pendapat antara orang-orang Sanhedrin dengan para penjaga. Nikodemus muncul lagi saat pemakaman Yesus (Yoh 19:38-42). Menurut RE Brown dalam ‘Introduction in The Gospel According to St John’, Nikodemus yang sedang dalam kegelapan-kebingungan iman itu datang kepada Yesus untuk membenarkan keraguannya. Pengetahuan dan minatnya yang bertumbuh telah menariknya dari kegelapan untuk menemukan Terang sesungguhnya.
Kita berGURU
Selain orangtua yang mengawali pengetahuan kehidupan (dalam hal beriman), juga patut disebut para guru, katekis, pastor yang mengisi spiritualitas kekatolikan kita. Mungkin kita pun sempat berkutat pada kegelapan dan keraguan dalam beriman. Biasa dan boleh juga itu terjadi.. Yang diperlukan adalah keberanian untuk belajar mencari kebenaran.
Beriman tidak persis sama dengan beragama yang berisikan peraturan dan larangan ini dan itu. Beriman adalah proses mencari, keberanian berguru dan menggurui diri sendiri guna mendapatkan jawaban yang layak sebagai dasar pertimbangan keputusan diri. Bila iman berasal dari orangtua dan mereka yang lain, sudah layak dan sepantasnya saat ini juga, iman itu menjadi “kebenaran karena dan untuk diri saya sendiri”, bukan lagi karena ‘kata orang’.
(Louis Djangun, pernah studi di STF Driyarkara Jakarta & Fakultas Teologi Kepausan Yogyakarta; kini Tim PuPas KAJ & Tim Kabar-Baik.id)