Artikel

Ajaran Keutamaan Sosial

“Ada kesan bahwa Ajaran Keutamaan Sosial dewasa ini masih asing, sekalipun dikenal adanya bantuan sosial. Kesan itu menguat dengan kemunduran umat Katolik dalam dunia politik, terutama pada Pemilu 2024”. Demikian pengantar RD Stephanus Suharsoyo Sutopanitro dalam Ajaran Keutamaan Sosial, buku yang diberikan kepada saya jelang kunjungan Bapa Suci Fransiskus 2024. Saya menulis poin-poin pokoknya, seturut pesan Rm Suto, perlu dikemas dan digetarkan kembali nilai-nilai Keutamaan Sosial. Alasan utamanya, karena tanggung jawab umat Katolik sebagai bagian dalam masyarakat-bangsa Indonesia.

Kebangkitan Awam

Munculnya berbagai kelompok kategorial yang diprakarsai Awam kiranya merupakan tanda bangkitnya kesadaran akan tugas perutusan Gereja untuk merawat kehidupan bermasyarakat yang plural untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan bersama. Yang diperlukan adalah menyatu-gerakkan tanggungjawab bersama. Ia menilai masih ada kesan masing-masing jalan sendiri, bahkan saling berlomba ‘jual nama’ demi perbanyak anggota.

Masyarakat kita – sesudah Reformasi – benar-benar sakit. Kebebasan (demokrasi) dipahami tanpa kedisiplinan, dimaknai suka-suka, cenderung main kuat-kuasa. Dan yang terjadi adalah kuat-kuasa duit, otot (premanisme) dan massa. Pemerintah pun cenderung ‘ikut arus’ dalam demokrasi a la itu, abai akan dasar demokrasi Pancasila sebagai landasan idiil berbangsa-bernegara.

Gereja dalam kekuatan Kristus diutus ke dalam Dunia demi menaburkan benih-benih kebenaranNya. Di sanalah setiap awam sebagai subyek bermisi sesuai permohonan Yesus kepada BapaNya: “Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran. Sama seperti Engkau mengutus Aku ke dalam Dunia, demikian Aku mengutus mereka ke dalam Dunia; dan Aku menguduskan diriKu bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran” (Yoh 17:16-19).

Keluhuran Martabat Manusia dan Prinsip Keadilan Sosial

Keutamaan Sosial bersumber dari Ajaran Sosial Gereja Katolik yang lahir dari keprihatinan munculnya industrialisasi. Tenaga mesin menyingkirkan tenaga manusia yang berdampak pengangguran, ketidakadilan, dan kriminalitas demi bertahan hidup. Kita ingat pergantian tenaga manusia dengan pembayaran menggunakan kartu tol. Ke mana orang-orang muda yang tersingkir akibat sistim itu?

Gereja mengajarkan bahwa martabat manusia adalah luhur. Tidak ada benda atau mahluk yang lebih tinggi dibandingkan manusia. Paus Yohanes Paulus II merefleksikan dalam Centesimus Annus (1991), bahwa yang mau diselamatkan Allah ialah manusia sebagai mahluk sosial. Setiap pribadi tidak dapat dilepaskan dari sesamanya, yang diciptakan sebagai citraNya (Kej 1:26-27). Citra adalah ‘gambaran Allah’, dan ada korelasi yang kuat. Bila Allah melupakan manusia, binasalah manusia. Bila manusia melupakan Allah (berdosa), relasinya terputus dengan Allah.

Manusia, Jasmani yang Merohani

Hanya manusia yang mampu ‘mendengar’ pesan keilahian melalui hati nuraninya. (lih Ul 30:14, Ams 3:3, Ibr 8:10). Rm Suto mengutip Rm Driyarkara SJ: “Manusia itu roh yang berdiri sebagai pribadi-yang merohanikan tubuh jasmaninya”. Akal budi dan kebebasan kehendak setiap manusia adalah cerminan kerohanian dalam dirinya dan menentukan martabatnya sebagai manusia, citra Allah.

Iman Katolik mengajarkan bahwa tubuh manusia akan dimuliakan dalam Kebangkitan Kristus, apabila tubuh bertindak sesuai hati nuraninya. Tubuh bukan sumber dosa, tetapi perlu dirawat dalam kesatuannya sebagai mahluk rohani.

Manusia adalah Pribadi Sosial

Pribadi manusia tidak terpisahkan dari ke-Satu-Pribadi-an dengan Allah, dampak inkarnasi Yesus Kristus. Setiap pribadi, dalam Kristus, terhubung dalam satu ikatan Cinta kepada Allah dan sekaligus cinta kepada sesama manusia. Manusia membutuhkan relasi dengan sesamanya, karena di dalam pribadi setiap manusia ada kesecitraan yang sama dengan Allah, Sang Pencipta.

Harus juga disadari bahwa dalam Ajaran Keutamaan Sosial, pribadi setiap manusia adalah mandiri. Tindakannya individual sebagai subyek yang bebas. Dalam tindakannya ada hak asasi sebagai manusia yang mau-tidak mau terikat pada pribadi-pribadi manusia lainnya. Di situlah konteks sosialitas kemanusiaan menjadi tanggungjawab dalam tindakan setiap pribadi. Maka, manusia adalah pribadi sosial yang menghidupi hidupnya dengan cintakasih, terutama terhadap Allah, dan sekaligus terhadap sesamanya, seperti pada dirinya sendiri (hukum Cintakasih Kristus).

Meluasnya Cakrawala Keutamaan Sosial

Dasar Ajaran Sosial Gereja adalah bahwa kesosialan pribadi manusia yang menggambarkan Pribadi Allah perlu dikongkritkan dengan keadilan sosial yang membawa keadilan sosial dan kesejahteraan bersama umat manusia di bumi. Menegaskan konteks itu, dalam buku ini Romo Sutopanitro memberikan contoh-contoh bagus tentang agiornamento Konsili Vatikan II terkait martabat pribadi manusia dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik antara lain Gaudium et Spes, Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Teris (1963) yang mendorong Gereja untuk terbuka pada politik dan hubungan antar-negara.

Romo Suto juga menyitir ensiklik Paus Yohanes Paulus II. Selain Centesimus Annus, juga Laborem Excercens, Redemptor Hominis, Dives in Misericordia dan Sollicitudo rei Socialis yang bertema ajaran tentang  kemanusiaan dan perkembangan sosial.

Tulisan ini diringkas dari buku berjudul di atas untuk mengenang mbah Romo Suto yang meninggal pada hari tulisan ini dibuat (Jumat Agung 2025) oleh Louis Djangun, komunitas gerakan awam Kabar-Baik.id

You may also like...

This error message is only visible to WordPress admins

Error: No feed found.

Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.